BANNER HEADER

Perekonomian China dalam Pusaran Krisis Terbesar sejak Dua Dekade Terakhir


JAKARTA
- Lanskap ekonomi China tengah menghadapi gejolak besar, seperti diungkap dalam laporan terbaru Bank Sentral China (People’s Bank of China). Selama ini, Beijing kerap menampilkan citra stabil dan kuat, namun temuan tersebut menunjukkan adanya delapan krisis yang saling berkaitan dan mengancam merusak tatanan ekonomi maupun sosial negara itu.

Mengutip dari Financial Post, Senin (2/6/2025), krisis ini mencakup deflasi, kehancuran sektor properti, utang pemerintah daerah, lemahnya konsumsi, risiko sistem keuangan, penurunan ekspor, lonjakan pengangguran, hingga pelarian modal.

Indeks harga konsumen (CPI) China turun 0,1% secara tahunan, sementara indeks harga produsen (PPI) anjlok 2,3%, mengindikasikan deflasi yang berkelanjutan. Bank sentral mengakui lemahnya permintaan dan menyerukan pemulihan harga—sebuah pengakuan langka dari Partai Komunis China (CCP).

Deflasi memperkecil margin laba, menekan upah, dan membuat konsumen menunda belanja karena ekspektasi harga lebih rendah. Jika tak segera ditangani, China berisiko mengalami stagnasi seperti Jepang, di mana deflasi berkepanjangan melumpuhkan investasi dan pertumbuhan.

Kontribusi sektor properti terhadap PDB yang dulunya mencapai 30% kini anjlok, dengan investasi menyusut 9,9%. Kredit bank sentral untuk proyek perumahan dianggap tidak cukup, memperparah krisis. Nilai properti di kota-kota besar anjlok tajam—villa di Beijing yang dulu dijual 20–30 juta Yuan (sekitar Rp4,4–6,6 miliar) kini kesulitan dijual seharga 3–4 juta Yuan (sekitar Rp660–880 juta).

Efek domino pun terjadi: pendapatan pemerintah daerah menurun, kredit macet di perbankan meningkat, pemutusan hubungan kerja meluas, dan permintaan bahan bangunan serta furnitur menurun drastis.

Pendanaan melalui obligasi pemerintah melonjak ke 3,9 triliun Yuan, naik 180% dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, pendapatan negara justru turun 1,1% dan pengeluaran naik 4,2%, menambah beban fiskal.

Pemerintah daerah kini dibebani utang sebesar 94 triliun Yuan, dengan 35 triliun tergolong berisiko tinggi dan 59 triliun tersembunyi dalam pembiayaan bayangan. Krisis utang ini mengancam investasi publik, kestabilan perbankan, serta perlindungan jaminan sosial.

Raksasa semikonduktor SMIC melaporkan penurunan penjualan, mencerminkan tekanan industri yang meluas. Di sisi lain, perusahaan global mulai menimbun komponen penting sebagai antisipasi gangguan rantai pasok, menandakan ketidakpastian yang meningkat terhadap stabilitas ekonomi dan dominasi manufaktur China.

Krisis Pendapatan Menengah

Semua krisis ini saling terkait: deflasi memicu PHK, yang menekan konsumsi. Krisis properti melemahkan keuangan daerah, meningkatkan utang. Penurunan ekspor memperburuk pengangguran, memperlemah permintaan. Tak seperti Jepang, China belum memiliki keunggulan teknologi dan industri untuk mengatasi stagnasi jangka panjang, dan kini terjebak dalam krisis pendapatan menengah.

Bank Sentral China memang telah memangkas suku bunga acuan ke rekor terendah untuk mengurangi dampaknya. Namun analis memperingatkan, pemangkasan suku bunga semata tak akan cukup menggairahkan permintaan kredit maupun aktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Dengan proyeksi pertumbuhan PDB sebesar 5% untuk tahun 2025, China menghadapi tantangan besar dalam menstabilkan ekonominya di tengah tekanan domestik dan global. Fakta yang paling mencemaskan: krisis ini bukan lagi ancaman di kejauhan, tetapi sedang berlangsung saat ini.

Apakah Beijing bisa membalikkan keadaan atau akan terseret dalam stagnasi panjang, masih menjadi tanda tanya. Namun satu hal sudah jelas—fasad stabilitas mulai runtuh, dan dunia sedang mengamati. by sindonewscom

Post a Comment

Previous Post Next Post